Monday, July 26, 2010

Wanita Butuh Perhatian dan Laki-laki Butuh Dipercaya

Seringkali kita memberikan kepada pasangan apa yang kita butuhkan dan bukan apa yang dibutuhkan oleh pasangan. Kita "lupa" bahwa setiap individu berbeda, termasuk pasangan kita.

Konon, pria dan wanita itu berbeda, sehingga kebutuhan emosionalnya juga berbeda. Namun tak semua pria dan wanita memahami bahwa mereka memiliki kebutuhan berbeda. Sehingga sering terjadi, mereka mendapatkan dari pasangannya apa yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Begitupun sebaliknya, mereka memberikan kepada pasangannya apa yang sebenarnya tak dibutuhkan oleh si pasangan. Hal itu terjadi karena mereka berasumsi bahwa apa yang mereka dambakan/kehendaki, maka itu juga yang dibutuhkan oleh pasangannya. Sehingga, yang mereka berikan adalah apa yang mereka butuhkan sendiri, bukan kebutuhan pasangannya.

Itulah mengapa, kata John Gray, Ph.D., penulis buku Men Are From Mars, Women Are from Venus, seringkali orang mengatakan bahwa mereka sudah banyak memberi namun pasangannya tak membalasnya secara setimpal. "Ya, mereka memang memberi, tapi tidak seperti yang diinginkan pasangannya. Untuk menerima lebih banyak, kita harus belajar bagaimana memberi, bukan dengan apa yang kita butuhkan, tapi apa yang pasangan kita butuhkan," tulisnya. Jika kita dapat memenuhi kebutuhan pasangan kita, maka pasangan kita pun secara spontan akan memenuhi kebutuhan kita.

John Gray yang selama lebih dari 20 tahun aktif menyelenggarakan berbagai seminar tentang menjalin hubungan antara pria-wanita/suami-istri ini, sangat meyakini bahwa pria dan wanita memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Bila kita tak memahami perbedaan-perbedaan tersebut, maka akan selalu terjadi kesalahpahaman dan kekeliruan. Kita pun tak akan bisa memahami mengapa usaha kita untuk saling memberi dukungan menjadi gagal.

KEBUTUHAN WANITA

Pada wanita, terang penulis buku Mars and Venus Together Forever dan Mars and Venus in The Bedroom ini, kebutuhan yang mendasar ialah ingin diperhatikan, dimengerti, dan dihormati. "Setiap hari wanita ingin diyakinkan secara verbal bahwa ia dicintai." Artinya, ungkapan seperti, "Saya mencintaimu," secara terus menerus ingin selalu didengarnya.

Wanita juga ingin berbeda dari wanita lain dalam kehidupan suaminya. Ia ingin menjadi wanita satu-satunya, pertama, dan spesial bagi suaminya. Sehingga, ketika hal itu tak didapatkannya, ia mulai merasa tak berharga. Tapi coba kalau ia merasa dirinyalah yang terpenting dalam kehidupan suaminya, maka dengan mudahnya ia akan memberikan kepercayaan kepada sang suami.

Selain itu, wanita ingin merasa didengarkan dan dipahami dengan penuh empati kala ia mengungkapkan perasaannya. Semakin terpenuhi kebutuhannya untuk didengarkan dan dimengerti, ia pun akan memberikan pengertian yang dibutuhkan pasangannya.

Begitu juga bila pria mau mempertimbangkan pikiran-pikiran si wanita, maka ia akan memberikan penghargaan yang layak diterima oleh suaminya. Sebab, ia merasa dihormati pada saat pria menanggapinya dengan mengakui dan mengutamakan hak-hak, harapan serta kebutuhannya.

KEBUTUHAN PRIA

Lain halnya dengan pria yang sangat membutuhkan penghargaan sebagai imbalan atas usaha dan perbuatannya. "Tanpa adanya cukup penghargaan, lelaki merasa gagal untuk mencapai tujuannya," ujar John Gray. Karena pria akan menjadi sangat terluka bila wanita tak mempercayai, menghargai atau menerima motivasi, kemampuan, pikiran, keputusan serta sikapnya.

Dalam kondisi pria tak merasa berharga, bisa jadi ia akan menyerah atau justru melakukan tindakan berlawanan dan dengan keras kepala mengulanginya lagi sampai ia dihargai. Tapi kalau ia merasa dihargai oleh pasangannya, semangatnya akan bangkit. Bahkan, sekalipun ia tak dapat memecahkan masalah di kantornya, namun bila sesampainya di rumah disambut oleh istri dengan kebahagiaan dan ungkapan terima kasih, stresnya langsung berkurang.

Yang juga perlu dipahami, pria tak suka bila ia merasa si wanita ingin mengubahnya atau mencoba memperbaikinya. Bukan berarti pria itu sempurna, tapi ia ingin dipercaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan sendiri. Dengan demikian, ia merasa diterima apa adanya. Kalau sudah begitu, si pria pun akan lebih mudah untuk mendengarkan dan memberi kepada pasangannya. Ia akan penuh cinta dan perhatian terhadap perasaan dan kebutuhan pasangannya. Apalagi jika pasangannya telah memetik manfaat dari perbuatan sang pria, maka ia akan semakin terdorong atau lebih bersemangat iuntuk berbuat lebih banyak lagi bagi pasangannya.

JANGAN BERLEBIHAN

Kendati berbeda, namun pada dasarnya pria dan wanita memiliki kebutuhan primer yang sama. John Gray merangkumnya dalam 7 kebutuhan, yaitu: cinta, perhatian, pengertian, rasa hormat, penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan.

Yang perlu diperhatikan, jangan sampai kita menjadi bersikap berlebihan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Seperti dikatakan Dra. Henny Eunike Wirawan, M. Hum, "Kalau kita memiliki 7 kebutuhan tersebut dengan berlebihan, tentunya tak baik juga, kan." Dikhawatirkan nantinya bisa menjadi posesif, sehingga kita jadi tak bebas bergerak. "Kalau kita terlalu diperhatikan, misalnya, itu, kan, bisa membuat kita ngeri. Sedikit-sedikit diperhatikan, buntutnya jadi enggak bebas juga."

Dalam membina hubungan, terang pembantu dekan I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta ini, kita harus berani melepas pasangan kita untuk mengaktualisasikan dirinya. "Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, berarti cintanya mengikat. Tentunya ini tidak sehat, kan." Oleh karena itu, Henny melihat sebaiknya ketujuh kebutuhan tersebut ditambah satu kebutuhan lagi, yakni tanggung jawab. "Jadi, masing-masing mempunyai tanggung jawab terhadap dirinya maupun terhadap pasangannya." Misalnnya, pada saat pacaran, kalau kita mengasihi pacar kita maka kita akan membuatnya merasa aman dengan kita. Artinya, sang pria tak akan "mengobok-obok" pacarnya sebelum waktunya. "Itulah tanggung jawab dia pada pasangannya."

TIAP INDIVIDU BERBEDA

Henny juga meminta agar kita tak terlalu terpaku bahwa pria dan wanita haruslah seperti yang digambarkan oleh teori John Gray tersebut, sehingga mengharapkan dari pasangannya juga demikian. Sebab, terangnya, "manusia itu sangat individual. Tiap manusia pasti punya sisi feminin dan maskulinnya, hanya kadarnya yang berbeda."

Dengan kata lain, wanita yang satu belum tentu sama dengan wanita lain. Si A mungkin akan merasa senang bila suaminya mengucapkan, "Aku cinta padamu," setiap hari. Tapi si B mungkin malah tak suka dan merasa risih jika diperlakukan demikian. Begitu pula dengan pria, berbeda satu sama lain. "Tak semua pria itu tegar sehingga ia harus di-back up dengan dihargai, diberikan penguatan, serta penghormatan demi untuk mempertahankan ketegarannya itu."

Memang, diakui Henny, banyak pria dan wanita mempunyai stereotip seperti yang digambarkan oleh John Gray. Hal ini ada kaitannya dengan budaya. "Sejak kecil kita sudah diajarkan bahwa pria itu seperti apa dan harus diperlakukan bagaimana oleh wanita. Begitu juga sebaliknya. Sehingga saat kita dewasa, kita berharap orang akan memperlakukan kita seperti itu." Nah, kalau itu yang terjadi, bukan tak mungkin kita lantas berpikir, "Ah, dia sudah tahu, kok, maksud saya. Saya juga sudah tahu maksud dia." Sehingga dengan serta merta kita melakukan suatu yang kita anggap pasangan kita akan suka. "Padahal, kan, belum tentu sama." Akibatnya, terjadilah kesalahpahaman.

Jadi, meskipun ada stereotip tertentu tentang pria dan wanita, namun kita tetap harus melihat kembali pasangan kita sebagai individu yang berdiri sendiri. Apakah dia memang seperti gambaran stereotip tersebut atau hanya pada hal-hal tertentu ataukah dia malah sama sekali berada di luar stereotip tersebut. Apalagi dengan perubahan zaman tentunya tuntutan pria-wanita yang stereotip juga akan berubah. "Keadaan sekarang saja sudah jauh berbeda. Sekarang istri bisa bekerja di luar rumah dan suami bisa saja bekerja di dalam rumah."

Untuk itu, anjur Henny, pada saat kita bertemu seseorang, sebaiknya kita mengenali dia dengan lebih baik. "Juga harus ada toleransi bahwa manusia itu tak seperti yang saya duga selamanya. Bahwa saya mungkin mempunyai kriteria tentang pria atau wanita tersebut, tapi bisa jadi dia tak seperti itu. Nah, saya harus bisa menerima itu, karena manusia itu tak semuanya bagus dan baik, tapi juga tak semuanya jahat. Kita tak boleh menyamaratakan."

ADA KOMUNIKASI

Tentunya untuk wanita bisa mengenali si pria yang sebenarnya dan pria mengenali si wanita yang sebenarnya itu seperti apa diperlukan keterbukaan dari kedua belah pihak. Dengan kata lain, bila ada kebutuhan emosional yang berbeda, maka perlu dikomunikasikan. "Kita harus mau membicarakannya karena ini menyangkut masalah persepsi yang ada. Ada harapan, kebutuhan, dan persepsi yang berbeda. Sehingga kalau tak pernah diutarakan akan ada kesulitan besar untuk memahami," kata Henny.

Jadi, utarakanlah kepada pasangan apa sebenarnya yang kita inginkan dari dirinya. Kita pun harus menanyakan kepada pasangan, apa yang dia maui. Kemudian diskusikan bersama bagaimana caranya menyatukan persepsi yang berbeda itu.

Selain itu, tambah Henny, yang tak kalah pentingnya ialah menerima pasangan apa adanya. "Kalau kita mencintainya, maka kita harus mau menerima dia apa adanya. Jadi, enggak ada tuntutan. Apapun yang pasangan kita berikan, ya, cobalah kita terima dengan hati bahagia. Toh, ia sudah berusaha." Jangan lupa, tukasnya mengingatkan, yang namanya manusia itu pasti banyak human error-nya atau kekeliruannya. "Jadi, apapun yang dia berikan, kita terima saja dulu. Jangan lantas buru-buru mengkritik. Karena kalau itu yang terjadi, tidak akan beres suatu hubungan."

Lagipula, seperti dikemukakan John Gray, bisa jadi pasangan kita salah duga, "dia menganggap kita suka diperlakukan demikian." Untuk itulah kita harus memperbesar toleransi. "Kita terima dulu keadaan itu, kita hargai usaha dia. Selebihnya kalau kita merasa tak puas dan sepertinya layak untuk diubah, barulah kemudian kita bicarakan."

Komunikasi ini sangat penting, tandas Henny. Karena kalau tak pernah dibicarakan akan terjadi kesalahpahaman terus yang lalu merembet ke pertengkaran, perselisihan. "Pokoknya, konflik! Karena masing-masing berpikir, aku, kan sudah memenuhi kebutuhan kamu tapi, kok, kamu enggak memenuhi kebutuhanku. Jadi masing-masing merasa tak puas."

Indah Mulatsih - Tabloid Nova

Tuesday, July 20, 2010

Jeans for Wedding, Why Not?


Jika biasanya masyarakat Indonesia terpaku dalam konsep pernikahan berdasarkan adat, budaya, dan nasional, lain halnya dengan pasangan Ruben Manikoe dan Frizca Octaviany. Mereka cukup berani dengan mengadakan konsep pernikahan bergaya casual dengan sentuhan jeans pada resepsi mereka yang diadakan di Monte Carlo Sport Club, Tajur Bogor, Sabtu 3/7 lalu.
Dengan nuansa santai, setiap tamu undangan datang dengan balutan jeans dan sangat santai menikmati musik romantic di konsep outdoor itu. Entah dari sentuhan kemeja, celana jeans, hingga ke gaun, para tamu undangan mengaku pasangan ini sangat kreatif mewujudkan pernikahan mereka.
“Kreatif dan sangat beda. Ini pertama kalinya saya datang ke pesta pernikahan dengan celana jeans dan kemeja karena belum pernah ada! Tak ada yang sesantai ini dan saya sangat menikmatinya. Selamat untuk Ruben dan Chika ya,” ujar Patra, kerabat dari Ruben.
Begitupun dengan pengantinnya, Chika, panggilan akrab Frizca Octaviany sangat anggun memakai gaun pernikahan yang terbuat dari satin dengan ekor panjang. Di leher jenjangnya di balut kalung dengan berbahan dasar jeans dan mutiara. Tak lupa wedges jeans juga menyempurnakan malam terindahnya.
“Sebelumnya saya mencari gaun yang pas sejak Februari lalu. Kami berdua sangat kerja keras untuk mencocokkan setiap pakaian yang akan kami kenakan. Begitu pula Ruben dan keluarga besar kami. Mulai dari googling, sharing dengan berbagai desainer gaun pernikahan, hingga hunting dari mall ke mall untuk mencari setiap kelengkapan busana pernikahan kami. Kami ingin menampilkan yang beda dari kebiasaan pernikahan di Indonesia dan yang saya tahu, ini adalah resepsi pernikahan pertama dengan konsep casual jeans. Setidaknya di Bogor,” jelas Chika.
Sang mempelai pria, Ruben juga sangat mendukung ide ‘liar’ istrinya. Ia terus meyakinkan ke semua undangan bahwa pernikahan seperti inilah yang mereka inginkan.
“Untuk menggambarkannya, saya selalu berkata kepada teman-teman bahwa kami ingin dalam pernikahan kami, tamu undangan seperti masuk Starbucks dan nyaman berjam-jam di dalamnya. Begitu pula dalam pernikahan kami. Kami ingin para undangan betah berjam-jam dan tak ingin pulang,” tandas pria yang kala itu memakai celana jeans biru dipadukan dengan kemeja dan rompi casual.

Wednesday, July 14, 2010

Ekstrovert vs Introvert


Ekstrovert dan Introvert adalah dua tipe karakter manusia. Jika ekstrovert terkesan lebih supel maka introvert terkesan lebih menutup diri. Selama ini kita sering terjebak dogma bahwa ekstrovert lebih baik dari pada introvert. Padahal kedua karakter ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Apa itu?

Beberapa bulan lalu saya menemukan sebuah teori yang menyebutkan bahwa ekstrovert dan introvert lebih merupakan sumber energi bagi manusia. Pribadi ekstrovert senang berada di tengah keramaian. Energinya terkumpul ketika berbicara dan berinteraksi dengan banyak orang. Ketika sedang berada di keramaian seorang ekstrovert seolah-olah juga sedang mengisi tenaganya (charging). Oleh karena itu jika seorang ekstrovert sedang stress maka dia akan cenderung memilih untuk berinteraksi dengan banyak temannya, entah itu pergi ke mall, nonton, atau sekedar jalan-jalan. Seorang ekstrovert tidak nyaman dengan suasana sepi. Suasana sepi bagi seorang ekstrovert malah akan membuatnya makin tertekan.

Introvert sebaliknya, bagi mereka keramaian membuat tenaga mereka cepat hilang. Oleh karena itu biasanya mereka hanya sekali-kali berinteraksi, kemudian diam. Ketika sedang stress, introvert lebih senang menyendiri atau hanya mau berbagi kepada satu atau dua orang yang mereka percaya. Bagi introvert suasana sepi adalah suasana yang nyaman dimana mereka bisa mengisi energi mereka. Selain itu, biasanya para introvert hanya berbicara seperlunya dan hanya berbicara mengenai apa yang memang ingin mereka bicarakan. Pada kadar yang tinggi orang introvert jika ditanya akan diam terlebih dahulu memikirkan apa yang akan mereka ucapkan, setelah itu baru mereka berbicara.

Sekedar informasi tambahan Menurut Carl Gustav Jung, orang-orang introvert adalah mereka yang terampil dalam melakukan perjalanan ke dunia dalam, yaitu diri mereka sendiri. Mereka selalu mencoba memahami diri mereka sendiri dengan melakukan banyak perenungan dan berkontemplasi. Pada akhirnya mereka menjadi orang yang memahami dirinya, berpendirian keras, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, dan mengetahui apa yang menjadi tujuan dalam hidupnya.


Ekstrovert, Introvert, and Relationship


Dalam hal hubungan pria dan wanita, seorang ekstrovert memiliki keuntungan tersendiri. Berkenalan dengan lawan jenis (approach) atau meminta no HP bukan perkara yang sulit bagi mereka. Namun dalam hal dating biasanya mereka memiliki kesulitan. Tipe ekstrovert biasanya lebih sulit untuk membina suatu hubungan personal yang lebih dalam dengan seseorang.

Introvert cenderung lebih sulit melakukan approach, tetapi dalam hal dating mereka lebih unggul karena mereka biasanya bisa membuat suatu hubungan personal yang lebih dalam. Di sinilah keunggulan seorang introvert. Ketika berinteraksi dengan seorang introvert arah pembicaraan akan lebih dalam, berbeda dengan ekstrovert yang lebih general.


Mengapa demikian?


Seorang introvert seringkali disibukkan dengan dirinya sendiri dan kurang peka terhadap lingkungannya. Pada akhirnya lingkungannya juga tidak dapat menerima seorang introvert dengan baik. Mereka tahu apa yg mereka mau namun sulit untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain. Hal ini membuat orang introvert seringkali dicap sebagai orang aneh. Untuk mengerti pemikiran seorang introvert maka anda harus meluangkan waktu lebih banyak untuk berkomunikasi dengannya. Inilah mengapa ketika kita berbicara dengan seorang introvert maka kita akan diajak menuju pembicaraan yang lebih dalam.

Di lain pihak mereka yg ekstrovert terampil dalam melakukan perjalanan ke dunia luar. Mereka dengan leluasa dapat berinteraksi dengan banyak orang. Membuat orang lain terkagum-kagum dan menyukainya. Namun semua itu dilakukan dengan mengorbankan dirinya sendiri. Mereka sering terpaksa mengorbankan kepribadiannya sendiri agar dapat diterima oleh orang banyak. Pembicaraan seorang ekstovert juga biasanya general, artinya bersifat umum.

Dalam hal relationship, seorang (I) akan cenderung lebih cocok dengan orang (E). Sebaliknya, orang (E) akan lebih cocok dengan orang (I). Sekali lagi ini hanya kecendrungan. Tidak selamanya seperti itu. Disamping itu masih banyak faktor-faktor lain.

Introvert <-----------> Ekstrovert

Pertanyaan selanjutnya bisakah introvert berubah menjadi ekstrovert atau sebaliknya?
Jawabannya adalah bisa karena karakter tidak bersifat permanen namun dinamis, artinya dapat berubah sewaktu-waktu. Karakter kita dibentuk bukan oleh kita sendiri tapi oleh beberapa faktor seperti lingkungan, mood, teman, situasi sosial dll. Ketika sedang berada di keramaian seperti aktivitas organisasi atau reuni SMA kita sebaiknya menjadi seorang ekstrovert dengan segala kepintaran berinteraksinya. Ketika kita ingin mempunyai hubungan yang lebih dalam dengan seseorang maka jadilah introvert, hal ini dapat membuat orang menjadi lebih dekat dengan anda.

Namun untuk melakukannya tidak dapat sekaligus membutuhkan proses dan harus perlan-lahan. Dengan menyadari hal di atas adalah merupakan modal yang baik. Jika merasa sebagai seorang introvert cobalah untuk melakukan interaksi dengan banyak orang. Jika merasa sebagai ekstrovert maka cobalah untuk berinteraksi lebih dalam, one-on-one atau eye-to-eye dengan orang lain. Coba tahan nafsu anda untuk berbicara dan lebih banyak menjadi seorang pendengar. Pada awalnya hal ini akan terasa berat, tetapi lama kelamaan kita akan terbiasa untuk menyesuaikan karakter kita dengan lingkungan yang dibutuhkan. Sekali lagi ini bukan merupakan hal yang mudah. Saya sendiri masih belajar dan pada beberapa waktu khusus sering mengalami kesulitan melakukannya.

Kadar introvert dan ekstrovert masing-masing orang juga berbeda-beda. Ada yang tinggi ada yang rendah. Misalnya A dan B bisa saja sama-sama seorang introvert. Namun si A memiliki kadar introvert 55% sedangkan si B 70%. Semakin tinggi persentasenya maka sifat khas dari masing-masing tipe kepribadian itu akan semakin muncul dominan. Kadar tersebut bisa berubah seiring waktu.

Mengenai variabel lain yang mempengaruhi pribadi seseorang, seperti:

Sensing-Intuition

Thinking-Feeling, dan

Judging-Perceiving

Saya akan bahas di lain kesempatan.


Sekedar berbagi informasi saja. Jika ada yang ingin dikoreksi atau ditambahkan saya persilahkan :D

Sumber : http://dik2.posterous.com/kupas-tuntas-ekstrovert-introvert