Monday, March 23, 2009

Kemana CERSIL (Cerita Silat) itu?


Pada era rezim Soeharto, pendidikan di kalangan etnis Tionghoa agak terhambat. Hal itu sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan Bahasa Tionghoa, baik Mandarin atau dialek lain, dilarang negara. Hal itu memang terus berjalan sampai datangnya masa reformasi. Meskipun demikian, karya Kho Ping Hoo alias Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo seperti cerita-cerita silatnya tetap bisa eksis di masa yang langka dalam "pendidikan" kebudayaan, sejarah, agama bahkan moral Tionghoa.

Karya-karya yang dikemas full text dan irit ilustrasi tetap menjadi suatu fenomena pada masanya dan menempati tempat di hati para penggemarnya. “Cerita-ceritanya membuat penasaran setiap pembaca. Malah, bagi sebagian orang hal itu sudah menajdi suatu hobi,” ujar Baehaqi, penggemar Kho Ping Hoo kepada Jurnal Bogor beberapa waktu lalu.

Cerita Silat Kho Ping Hoo tetap berkesan mendalam bahkan menjadi pembentuk watak bagi jutaan penggemarnya. Setiap tokoh dan tempat-tempat yang diceritakan dibeberkan serealistis mungkin. “Karyanya itu banyak membangkitkan imajinasi si pembaca. Seolah-olah kita merasakan dan melihat sendiri tempat dan kejadiannya,” katanya.

Di samping itu, rasa ingin tahu dan keinginan untuk belajar lebih banyak tentang Tiongkok atau China selalu menghantui para pembacanya. Mulai dari jurus-jurus yang digunakan sampai pada makanan khas cina. Hal ini bisa menjadi sebuah inspirasi baru bagi setiap pembaca yang membaca cerita silat yang sudah ratusan jumlahnya.

Karya Kho Ping Hoo juga merupakan gambaran yang menarik dari sebuah perjalanan pendekar-pendekar silat. Merupakan cerita dari perseteruan kubu yang baik dan kubu yang jahat tetapi tetap saja kebenaranlah yang akhirnya menang. “Dari karya-karyanya bisa kita petik sebuah perebutan kekuasaan, sifat-sifat manusia yang iri dengki maupun perkelahian yang melatarbelakangi hal itu semua,” papar pria yang sudah mulai membaca serial Kho Ping Hoo sejak SMP ini.

Di tengah-tengah maraknya perkembangan buku Indonesia dari mulai komik sampai pada novel kontemporer ditambah lagi karya sastra luar, hal ini sedikit mulai sedikit tergerus oleh perkembangan zaman. “Anak-anak sekarang lebih memilih komik atau cerita bergambar lainnya. Sekarang pun walaupun saya sudah mengoleksi puluhan karyanya, saya tidak membacanya lagi,” pungkasnya. Sri Wahyuni