Friday, August 28, 2009

Geliat Budaya Tionghoa Menyambut Kemerdekaan RI


Generasi Ketujuh Dalang “Ngedan”
Lolos dari cengkraman Orde Baru, berbagai ikon kebudayaan Cina yang pernah mati suri, kini mulai hidup kembali. Diantara hasil budaya Tionghoa, yang kini bisa dipertontonkan kembali adalah wayang potehi.
Meski tidak sepopuler barongsai, pertunjukan wayang yang mirip boneka Si Unyil ini mulai menggeliat di berbagai kelenteng. Termasuk di Vihara Dhanagun yang sejak kemarin sore (20/8) menggelar pertunjukan boneka yang berasal dari daratan Quanzhou, Fujian di Cina Selatan. Geliat ekpresi budaya peranakan ini didatangkan Vihara Dhanagun dalam rangkaian Chio Kou atau sembahyang rebutan yang digelar hari ini mulai pagi hari, sekaligus menghangatkan perayaan Proklamasi Kemerdekaan RI ke 64.
Seiring migrasi, wayang potehi mulai berkembang di Batavia dan kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di Jawa seperti Semarang. Di tempat terakhir itu, wayang potehi pertama kali dimainkan pada 1772 saat pemindahan patung Dewi Welas Asih (Kwan Im) di daerah Gang Lombok. ”Kalo saya pelajari dari referensi yang ada, wayang potehi itu muncul di akhir-akhir Dinasti Ming, sekitar 1368 – 1644,” terang David Kwa, pengamat kebudayaan Tionghoa di Indonesia.
Potehi, menurut etimologinya, potehi berasal dari poo (kain), tay (kantung), dan hie (wayang). Wayang yang berbentuk boneka ini terbuat dari kain. Dalang memasukkan tangannya ke dalam kain tersebut dan memainkan layaknya jenis wayang lain.
Beberapa lakon yang dipakai sebagai sumber cerita berasal dari khazanah sastra Tiongkok klasik, utamanya kisah pahlawan rakyat, roman sejarah yang sudah populer di kalangan rakyat seperti Sam Kok, San Pek Eng Tai, Li Si Bin, Shi Jin Kwi, Koan Kong, dan sebagainya. “Cerita-cerita itu mengandung nilai didaktik. Pendidikan moral yang menanamkan nilai kebaikan dan menunjukkan sesuatu yang salah dan tidak patut dicontoh. Sama halnya seperti nilai-nilai didaktika yang dikemas dalam pertunjukan lainnya, ada nilai antagonis dan protagonis” papar David.
Adalah Thio Tiong Gie atau Teguh Chandra Irawan, pria kelahiran Demak 9 Januari 1933 ini adalah satu-satunya dalang wayang potehi di Semarang, bahkan mungkin di Jawa Tengah. Secara nasional pun, ketokohan Tiong Gie alias Teguh dalam jagat pakeliran potehi sudah diakui. Sulit dicari tandingannya. Wajar saja, ini karena Tiong Gie sudah 51 tahun menjadi dalang. Bersama lima orang rombongannya, Tiong Gie memukau ratusan penonton dan hadirin yang hadir dalam pertunjukan tersebut di pelataran Vihara Dhanagun.
Kini usianya sudah mencapai 76 tahun. Namun, kemahiran dan semangat mendalangnya seolah tak pernah beranjak tua. Intonasi, aksen, dan cengkok nyanyiannya meliuk-liuk bersama gerak-gerik potehinya yang tampak hidup. Keterampilan Teguh juga didukung penguasaan dialek Hokkian yang mumpuni. Dia paham betul letak penekanan kata dan cara menghayatinya. “Saya sudah mendalang sejak umur 25 tahun. Ayah saya Cina totok yang hanya seorang pedagang kain,” ungkapnya.


Dalang potehi Thio Tiong Gie atau Teguh Chandra Irawan dilahirkan di Demak, 9 Januari 1933 dari pasangan saudagar kain. Ayahnya bernama Thio Thian Soe dan ibunya, Go Giok Nio. Pahit, toko kain “Cita” di kawasan pecinan Demak dirampok dalam kerusuhan besar tahun 1942. Saat itu usianya baru menginjak usia 9 tahun. Sang ayah, Thio Thiang Soe akhirnya terpaksa membawanya hijrah ke Semarang. Di kota inilah sang ayah mengais rezeki sebagai pemulung.
Kondisi ekonomi keluarganya begitu sulit. Tiong Gie kecil baru bisa bersekolah di usia 14 tahun. Dia masuk di sekolah Cina, Cung Hua Kung Siek (sekarang bernama Nusa Putra), hingga ia lulus di usia 20 tahun. Thio Thiang Soe yang bergulat menghidupi keluarganya dari tumpukan koran dan barang-barang bekas hingga menjual kue pikulan yang dibawanya keliling kampung. Sang ayah tetap bertahan memperjuangkan keluarganya hingga Tiong Gie menginjak usia 25 tahun. Di usia itulah, selembar koran yang ditemukan Tiong Gie membawa alur hidupnya menjadi seorang dalang terkenal. Tiong Gie menemukan sebuah tulisan berjudul “Cu Hun Thay Cu Caw Kong “, sebuah judul cerita pewayangan yang berarti “Putra Mahkota Cu Hun”, cerita seorang putra mahkota yang melarikan diri di masa Dinasti Sung.
Tiong Gie muda terkesima, sepenggal kisah wayang potehi yang dibacanya di koran tersebut menyadarkan rasa cintanya pada kebudayaan. Setiap saat ia menyaksikan wayang potehi di Kelenteng Raden, Semarang. Kecintaannya terhadap wayang potehi makin terpupuk dan mengental.
Hingga suatu ketika, dia mendapat hadiah berupa seperangkat wayang potehi dari teman ayahnya yang juga seorang dalang, Oey Sing Twe. Tak lama, Tiong Gie bertemu Tok Hong Kie, seorang dalang senior. Ia mengungkapkan ketertarikannya pada wayang potehi. Tok Hong Kie menyuruh Tiong Gie untuk memainkan wayang di Blitar untuk menggantikannya yang saat itu berhalangan tampil.
“Waktu itu beliau (Tok Hong Kie) tidak enak badan dan meminta saya untuk menggantikannya mendalang di Blitar. Karena saya tidak memiliki pengalaman, saya diberi sepasang wayang agar dapat berlatih sendiri,” papar pria dengan 22 cucu ini.
Tiong Gie terkejut, tetap tekadnya untuk mampu menjadi dalang mendorongnya dengan sangat kuat. “Menjadi dalang harus sepenuh hati, niat dan tekadnya pun harus kuat, tidak boleh setengah-setengah,” ujarnya. Dalam seminggu, dia belajar menjadi dalang potehi selama secara otodidak untuk menggantikan pertunjukan sang dalang senior di Blitar. Dari situlah, bakatnya bangkit dan jadilah ia sebagai seniman wayang potehi. Thiong Gie pun resmi menyandang predikat Saay Hu atau Too Yan yang berarti dalang.
Kini Tiong Gie sudah memiliki 120 jenis wayang potehi. Wayang itu ia dapatkan secara turun temurun dari 6 dalang sebelumnya. Tidak sembarangan ia mendapatkan “warisan” turun temurun itu. Untuk memilikinya, totalitas sebagai dalang perlu dibuktikan. Tak ada nepotisme dan atau dasar kekerabatan. Tiong Gie pun tak akan dengan mudah mewariskan potehinya pada siapapun, termasuk kepada Tok Hok Lay, anak angkatnya. Ukurannya hanya totalitas dan konsistensi sebagai seniman tulen. Dalang yang mampu melanjutkan ikon kebudayaan Tionghoa di Indonesia yang bernilai mahatinggi itu.


Selama 51 tahun mendalang, Thio Tiong Gie masih hidup dalam lingkungan sederhana. Rumahnya di Jalan Petudungan, Gang.Kp. Pesanstren Rt 02/01, Semarang, sering ia tinggalkan berhari-hari lamanya. Bahkan jika jadwal pementasannya sangat padat, Thio tak akan pulang berbulan-bulan. Inilah totalitas yang disodorkan Thio.

“Menjadi dalang itu harus ngedan,” ungkapnya. Ia bermaksud menggambarkan bahwa seorang dalang haruslah ekspresif dan penuh improvisasi saat pentas. Dalang harus cerdik memainkan peranannya, mampu menghayati alur cerita sebagai bagian dari dirinya sendiri yang tak dapat dipisahkan. Sehingga keduanya menjadi satu emosi yang sama.

Dari sanalah improvisasi dan gerak-gerik akan muncul dan mengalir dengan sendirinya.
Tak mudah menjadi seniman yang berada di tingkat itu. Thio Tiong Gie, sang Saay hu atau Too Yan (predikat bagi dalang senior.red), mewarisi kemampuan mendalangnya dari berbagai generasi dalang senior sebelumnya. Bonekanya, asli dari Tiongkok yang ia peroleh secara turun temurun. Konon, usia boneka itu sudah 135 tahun.

Ada enam dalang senior yang mewariskan boneka potehinya hingga ke tangan Thio. Mereka adalah Nyo Kim Hwat, yang mewariskan ke tangan Kho Kim Swie lalu sampai ke Go Hok Lim. Ketiga dalang ini masih menggunakan bahasa Hokkian saat mementaskan wayang potehi. Dari Go Hok Lim, wayang-wayang itu secara turun termurun digunakan oleh Timbul, Siaw Thian Hoo, Tan Tjoe Joe hingga akhirnya sampai ke tangan Thio Tiong Gie. Empat dalang terakhir kemudian melanjutkan kebudayaan wayang potehi ini dengan bahasa Indonesia yang masih bernuansa melayu dan kadang lebih terasa sebagai bentuk sastra melayu di masa Republik (gaya bahasa di masa perjuangan). Cerita yang dibawakan pada umumnya bernilai kesatriaan dan kesusilaan. Nilai yang selalu diajarkan Thio dari dalam kotak berukuran 3 x 3 meter. Kotak kubus tempatnya bermain itu merupakan pemberian dari Agus Singa Sutanto, pemerhati kebudayaan yang sudah menganggapnya sebagai ayah sendiri.

Dari kubus berbahan triplek itulah Thio Tiong Gie terus mempertahankan kebudayaan klasik dengan tarif yang relatif istimewa. Thio hanya memasang tarif 500 ribu rupiah per hari. Itupun hanya untuk dibagi bersama dengan para asisten dan rombongan pendukungnya, seperti para pemain musik dan asisten yang mempersiapkan perlengkapan pentas. Mereka yang setia menemaninya Tan Gie Swie, Edi Sutrisno, Sugiyanto, dan
Mulyanto.

Dalam kotak besar itu, di bagian depan ada bolong segi empat sebagai panggung tempat memainkan wayang itu sendiri, ukurannya 120 cm x 1 meter. Di kotak yang disebut tunil itulah para asistennya mempersiapkan berbagai ornamen seperti gorden, meja dan kursi kecil yang difungsikan sebagai ciri pergantian adegan. Juga memasang ornamen wayang seperti pedang atau mengganti baju. ”Kita harus hafal setiap karakter. Wajah yang dicat putih ini golongan wayang berkarakter baik. Sisanya, merah, kuning, hitam atau warna lain adalah karakter yang jahat,” ungkap Edi, salah seorang asisten.

Di dalam kotak, tepat di belakang tunil terdapat peti wayang potehi yang jumlahnya hingga 120 buah. Di kiri kanannya para pemain musik antara lain memainkan siauw ku (kecer besar), al hu (musik gesek mirip rebab), tong ko (sejenis tambur), piak ko (bilah kayu, dulu dari kulit yang dikeringkan), twa loo dan sio lo (gembreng besar dan kecil), twa jwee (trompet logam), hian na (rebab), dan gwee khim (mandolin).

Wayang potehi dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Glove Puppetry. Nama lainnya antara lain adalah: budai mu’ouxi, shoucao kuileixi, shoudai kuileixi, zhǎngzhōngxì, xiaolong, atau zhihuaxi. Dari Thio Tiong Gie dan wayang potehinya, kita kini mendapat keyakinan: semua kebatilan pasti akan kalah dengan kebaikan.

***
Rifky Setiadi | Sri Wahyuni

1 comment:

Anonymous said...

Your blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!