Wednesday, April 29, 2009

Baju Koko, Baju Muslim Apa Baju Tionghoa?


Setiap hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha ataupun di acara-acara keagamaan umat muslim, ada pemandangan yang biasa kita lihat di berbagai tempat. Lihat saja para warga yang berbondong-bondong ke Masjid. Mulai dari anak kecil sampai orang dewasa laki-laki tidak lepas dari yang namanya baju koko. Baju koko populer sebagai trademark baju orang muslim. Padahal dari namanya saja kita bisa dengar “Koko”, sebutan bagi kakak dalam keluarga Cina. Dari kerahnya saja kita dapat melihat model kerah sanghai yang sangat khas seperti kerah baju cheongsam yang berasal dari Cina meskipun sekarang perkembangan mode telah merubah sedikit demi sedikit model baju ini sesuai selera pasar.
Warga Sunda Kelapa pun yang sekarang dikenal sebagai Batavia (Jakarta), dahulu menyebut baju koko dengan sebutan baju takwa. “Karena lidahnya “pelo” lama-lama sebutan baju takwa menjadi baju takwo. Sekarang malah menjadi baju koko,” ujar Robin, anggota PGB Bangau Putih kepada Jurnal Bogor kemarin.

Dituturkan pula oleh Eman Sulaeman, budayawan Sunda, bahwa memang bangsa Cina yang membawa budaya berpakaian dengan kerah sanghai ke Indonesia. Dulu sebutan baju koko adalah Twi Kim dan sarungnya bernama polekat sebelum sebutan baju koko populer sampai sekarang.

Selain bangsa Cina, Robin mengatakan bahwa perpaduan budaya atau mode baju koko pada zaman dahulu dipakai sebagai pembeda laskar muslim dengan laskar non muslim. Pengaruh dari masa kejayaan Sultan Hasanuddin pun cukup kuat. Beliau dikenal dengan ketakwaannya. Rakyat pun banyak mencontoh sifat-sifatnya sampai cara berbusananya. “Masyarakat melihat Sultan Hasanuddin sebagai panutan sehingga baju koko sekarang dikenal sebagai pakaian orang-orang bertakwa yang suka beribadah,” papar Robin, pria yang juga pemerhati budaya Cina itu.

Melihat fenomena berbusana dalam hal ibadah ini, Robin dan Eman Suleman berpendapat sama bahwa hal itu hanyalah budaya yang berkembang di Indonesia. Baju koko bukanlah sebagai patokan pakaian beribadah yang baik terutama bagi umat muslim. Setiap orang memiliki pilihannya masing-masing untuk berpakaian senyaman mungkin agar melakukan ibadah secara khusyuk.

“Asal tidak menyalahi ketentuan yang ada yaitu syariat islam, saya rasa bebas menentukan cara berpakaian apa saja untuk beribadah. Biasanya apa yang mereka pakai mencerminkan diri mereka. Saya saja tidak memakai kopiah atau peci haji ketika sholat Jum`at tapi memakai iket kepala khas Sunda karena mencirikan saya adalah urang sunda,” pungkas Eman yang juga Ketua Yayasan Hanjuang Bodas.

Dipublish juga di Jurnal Bogor (28/4/2009)

Friday, April 17, 2009

Makna Dua Patung Singa


Dari berbagai hewan yang ada di muka bumi ini, singa merupakan binatang yang memiliki arti penting bagi bangsa Tiongkok. Tengoklah di berbagai bangunan tradisional Tiongkok maupun modern terdapat dua buah patung singa yang menjaga pintu masuk bangunan tersebut.
Sepasang patung singa, jantan dan betina, sering terlihat di depan gerbang bangunan-bangunan tradisional bangsa Tiongkok. Singa jantan berada di sebelah kiri dengan cakar kanannya berada di bola, dan sang betina di sebelah kanan dengan cakar kirinya membelai anak singa.
“Di dalam mitologi Cina, singa adalah hewan dewata. Sepasang singa juga melambangkan keseimbangan (Yin dan Yang) dari kehidupan. Singa jantan memegang atau menjaga bola seperti bola api yang melambangkan kewaspadaan. Sebagai pemimpin dan penjaga, singa tersebut tidak boleh lengah. Singa betina pada cakar kirinya membelai anak singa yang melambangkan belas kasih,” papar Mardi Lim, penagmat budaya Tionghoa kepada Jurnal Bogor kemarin.
Ornamen yang satu ini bukan hanya mempercantik bangunan, karena bagi bangsa Tionghoa singa melambangkan kekuatan yang diharapkan dapat pula dimiliki oleh penghuninya. Bola yang berada pada patung singa jantan melambangkan kesatuan seluruh negeri, dan anak singa pada patung singa betina merupakan sumber kebahagiaan.Dengan begitu, singa memiliki arti penting bagi bangsa Tionghoa.
Di dalam literatur lain, patung singa juga untuk menunjukkan peringkat atau kedudukan seorang pejabat negara dengan melihat jumlah gundukan yang diperlihatkan oleh rambut keriting pada kepala singa. Rumah pejabat tingkat satu memiliki 13 gundukan dan jumlah itu menurun satu gundukan setiap turun satu peringkat. Pejabat dibawah tingkat tujuh tidak diperbolehkan memiliki patung singa di depan rumah mereka.
“Namun, patung singa penjaga di depan klenteng dan bangunan pejabat mempunyai karakteristik yang berbeda. Begitu istimewanya hewan ini karena singa adalah salah satu hewan tunggangan beberapa budha,” pungkas Mardi Lim ditengah-tengah kesibukannya.
Yang sangat menarik adalah singa bukanlah binatang asli dari negeri Tiongkok. Ketika Kaisar Zhang dari Han Timur memerintah pada tahun 87 SM, Raja Parthia mempersembahkan singa kepada sang kaisar. Singa lainnya dipersembahkan oleh sebuah negara di daerah tengah asia pada tahun berikutnya. Patung singa pertama kali juga dibuat pada permulaan Dinasti Han Timur. Sebagai informasi, sebuah jembatan terkenal, Lugouqiao, dibangun dari 1189-1192 SM, memiliki patung-patung singa yang berjumlah sekitar 498 hingga 501. Sebuah pepatah terkenal menyebutkan, “Singa dari Lugouqiao tidak terhitung banyaknya”.

Thursday, April 2, 2009

Emperan Jalan Suryakencana


Menjual Kenangan Masa Lalu
Lihatlah jalan Suryakencana pada siang hari. Padat, panas, pengap dan terkadang bau yang diakibatkan oleh air sampah tertumpuk di pinggir saluran air. Hal ini diakibatkan oleh padatnya penjualan yang kurang tertib dan teratur. Mulai dari lapak ilegal sampai pada pengelolaan sampah yang berantakan.

Meskipun begitu, apapun dapat kita temukan di sana. Mulai dari kebutuhan sandang, pangan, dan kebutuhan papan. Berbagai etnik bangsa mulai dari warga pribumi sampai dengan warga keturunan Tionghoa ada di wilayah yang disebut dengan China Town-nya Bogor.

Jika kita amati, dari beberapa perniagaan di sana, ada beberapa perniagaan yang menarik untuk disimak dan jarang untuk ditemui di tempat lain di kota Bogor. Seperti penjualan barang-barang antik sampai kaset-kaset bekas di sepanjang jalan Suryakencana tidak hanya menjual barang-barang bekas tapi juga menjual kenangan indah masa lalu.

Berbagai macam perkakas rumah tangga dan beberapa alat elektronik bekas dijual. Seperti uang lama, kaset bekas, batu cincin, barang-barang elektronik bekas yang terkadang tak utuh lagi pun dijual disana.


Heri, 12 tahun berjualan kaset bekas di emperan jalan Suryakencana mengatakan begitu banyak suka duka berjualan di emperan jalan. “Terkadang pengunjung ramai, kadang-kadang pengunjung juga tidak ada satupun yang membeli. Tapi saya tetap bertahan berjualan kaset bekas ini karena tidak ada penghidupan lain,” ujar Heri, pedagang kaset bekas kepada Jurnal Bogor kemarin.

Harga yang ditawarkan mulai dari dua ribu sampai lima ribu rupiah. Tergantung dari kelangkaan kaset itu. Kaset bekas yang dijual jumlahnya sedikit dibandingkan dengan yang dikios. Hanya kisaran puluhan jumlahnya. Stok barang didapat dari orang-orang yang mau menjualnya. “Biasanya saya membeli dari mereka seharga Rp 500,- hingga Rp 1500,-,” ujar Heri sambil membersihkan dagangannya.

Lain Heri, lain pula H. Holis. Beliau adalah penjual arloji bekas terlama dan memiliki kios rokok kecil di depan Gg. Pedati. “Dulu masih jualan di Gg. Pedati. Sekarang setelah 1968 ditertibkan kemari. Pengunjungnya tak kalah ramai kok. Kalau sekarang sedikit menurun karena krisis ekonomi,” ujar pria kelahiran 1942 itu.

Meskipun lapak mereka bisa dibilang ilegal karena tidak memiliki tempat khusus untuk berjualan, mereka tetap bertahan karena kebanyakan dari mereka tidak punya usaha sampingan selain penjualan barang-barang bekas. Dari sinilah mereka dapat menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya. “Saya bisa menyekolahkan anak saya sampai perguruan tinggi dengan berjualan seperti ini. Memang ada berkah dan kesulitannya,” pungkas H. Holis tersenyum.